Dengan kicauan burung pagi di luar jendela
Di atas tiang listrik tua sebelah barat
Kau masih terjaga,,
Masih dengan baju kesayanganmu
Masih dengan clana pendek kesayanganmu
Yang sudah kusut penuh ruas
Namun wanginya masih sama
Seperti tadi malam
Di atas balkon menikmati rokok yang kau bakar
Bersama angin malam yang tak lagi bersahabat
Sebelum kau tertidur
Memadamkan mata lampu
Yang ada kini cuma hening..
Dan aku hanya menatap cangkir-cangkir kopi
yang mendingin semalam.
Dalam pejam.. hidup terasa lebih nyaman
Karena saat kau terjaga dalam nyata
Remah waktu hanyalah menuai
Menggerogoti tubuh tuamu
Nyaris habis
Apa pagi bakal datang lagi??
Menunggu dibalik pintu untuk kau jumpai
Dan itu.. hanya bisa kuhadapi
Dengan hela nafas panjang dan senyum yang membisu
Tadi malam kenangan itu mencair,,
Dan pagi ini sudah jadi embun
Sejuknya sampai ke pucuk
Aku kembali memulai pagiku
Menyusuri sudut ruang tidurmu
hhhhh...
Aku kembali sadar..
Tak ada lagi jejakmu ayah
dan aku benci itu
Tak adil rasanya ,
jika harus aku menghindari perihnya
yang jelas - jelas menunggu dpan pintu
tak perlu mencari keramaian ..
atau bahkan menghapus setapak demi setapak
jejak yang pernah kau toreh disini
Semuanya itu hanya akan menguras tenaga
mengoyak hati bahkan celakanya
terasa hanya seperti membodohi diri sendiri
karena semakin kuat kau berusaha membuang kepedihan itu
semakin cepat pula ia berlari kearahmu
kembali menghantam
dengan benturan yang dua kali lipat hebatnya
Jadi ,, duduk sajalah
menangis sekeras yg kau bisa
Nikmati stiap lekuk perih
yang meluluhlantahkan rongga jiwamu
karena memang niscaya tak ada yang bisa mengelak
dari kepedihan..
Tak adil rasanya ,
jika harus aku menghindari perihnya
yang jelas - jelas menunggu dpan pintu
tak perlu mencari keramaian ..
atau bahkan menghapus setapak demi setapak
jejak yang pernah kau toreh disini
Semuanya itu hanya akan menguras tenaga
mengoyak hati bahkan celakanya
terasa hanya seperti membodohi diri sendiri
karena semakin kuat kau berusaha membuang kepedihan itu
semakin cepat pula ia berlari kearahmu
kembali menghantam
dengan benturan yang dua kali lipat hebatnya
Jadi ,, duduk sajalah
menangis sekeras yg kau bisa
Nikmati stiap lekuk perih
yang meluluhlantahkan rongga jiwamu
karena memang niscaya tak ada yang bisa mengelak
dari kepedihan..
No comments:
Post a Comment